Asal mula nama
sintren salah satunya berasal dari kata sindir
(bahasa Indonesia : sindir) dan tetaren (bahasa
Indonesia : pertanyaan melalui syair-syair yang perlu dipikirkan
jawabannya) maksudnya adalah menyindir dengan menggunakan sajak-sajak atau
syair-syair,Pada awalnya sebelum terbentuk struktur sintren yang ada
seperti sekarang ini yang berupa tarian dengan wanita ditengahnya, dahulu awal
kesenian ini dipercaya dimulai dengan aktifitas berkumpulnya para pemuda yang
saling bercerita dan memberikan semangat satu sama lain terutama setelah
kekalahan besar pada perang Besar Cirebon yang berakhir sekitar tahun 1818, dalam cerita lisan masyarakat
Indramayu dikenal nama Seca Branti yang dipercaya sebagai abdi pangeran Diponegoro yang berhasil lolos dari Belanda setelah kekalahan perang Diponegoro yang berakhir pada tahun 1830, dikatakan bahwa Seca Branti
melarikan diri ke wilayah Indramayu disana dia bergaul dengan para pemuda dan suka membacakan
sajak-sajak perjuangan, pada musim panen tiba disaat para pemuda sedang banyak
berkumpul, Seca Branti kemudian ikut bergabung dan menyanyikan sajak-sajak
perjuangannya.Salah satu tradisi
lama rakyat pesisiran Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat, tepatnya
di Cirebon, adalah Sintren. Kesenian ini kini menjadi sebuah pertunjukan
langka bahkan di daerah kelahiran Sintren sendiri. Sintren dalam
perkembangannya kini, paling-paling hanya dapat dinikmati setiap tahun
sekali pada upacara-upacara kelautan selain nadran, atau pada hajatan-hajatan
orang gedean.
Berdasarkan keterangan dari berbagai sumber kalangan seniman
tradisi cirebon, Sintren mulai dikenal pada awal tahun 1940-an, nama
sintren sendiri tidak jelas berasal dari mana, namun katanya sintren
adalah nama penari yang masih gadis yang menjadi staring dalam
pertunjukan ini.
Sejarah tari sintren
Kesenian Sintren berasal
dari kisah Sulandono sebagai putra Ki Baurekso hasil perkawinannya dengan Dewi
Rantamsari. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa
Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki
Baurekso, akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi
penari. Meskipun demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung
melalui alam gaib.
Pertemuan tersebut
diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada
saat itu pula R. Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk
menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan R. Sulandono.
Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren sang
penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal
tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci (perawan).
sintren jg mempunyai keunikan trsendiri yaitu trlihat dri panggung alat-alat
musiknya yg trbuat dri tembikar atau gembyung dan kipas dri bambu yg ketika
ditabuh dgn cara trtentu menimbulkan suara yg khas.
Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh
pawang dengan diiringi gending 6 orang. Dalam perkembangannya tari sintren sebagai
hiburan budaya, kemudian dilengkapi dengan penari pendamping dan bodor
(lawak).
Dalam permainan
kesenian rakyat pun Dewi Lanjar berpengaruh antara lain dalam permainan Sintren,
si pawang (dalang) sering mengundang Roh Dewi Lanjar untuk masuk ke dalam
permainan Sintren. Bila, roh Dewi Lanjar berhasil diundang, maka
penari Sintren akan terlihat lebih cantik dan membawakan
tarian lebih lincah dan mempesona.
Kesenian Sintren
terdiri dari para juru kawih/sinden yang diiringi dengan beberapa gamelan
seperti buyung,sebuah alat musik pukul yang menyerupai gentong terbuat dari
tanah liat, rebana, dan waditra lainya seperti , kendang, gong, dan kecrek.
Sebelum dimulai, para juru kawih memulai dengan lagu-lagu yang dimaksudkan untuk
mengundang penonton. Syairnya begini:
"Tambak tambak pawon
Isie dandang kukusan
Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul".
Syair tersebut
dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton benar-benar berkumpul
untuk menyaksikan pertunjukan Sintren. Begitu penonton sudah banyak, juru
kawih mulai melantunkan syair berikutnya,
"Kembang trate
Dituku disebrang kana
Kartini dirante
Kang rante aran mang rana"
Di tengah-tengah
kawih diatas, muncullah Sintren yang masih muda belia. Konon menurut
Ny. Juju. Seorang sintren haruslah seorang gadis, kalau Sintren dimainkan
oleh wanita yang sudah bersuami, maka pertunjukan dianggap kurang pas,
dalam hal ini Ny. Juju enggan lebih jauh menjelaskan kurang pas yang
dimaksud semacam apa. ”Pokoknya harus yang masih perawan,” katanya
menegaskan.
Kemudian sintren
diikat dengan tali tambang mulai leher hingga kaki, sehingga secara
syariat, tidak mungkin Sintren dapat melepaskan ikatan tersebut dalam
waktu cepat. Lalu Sintren dimasukan ke dalam sebuah carangan (kurungan) yang
ditutup kain, setelah sebelumnya diberi bekal pakaian pengganti. Gamelan
terus menggema, dua orang yang disebut sebagai pawang tak henti-hentinya
membaca mantra dengan asap kemenyan mengepul. Juru kawih
terus berulang-ulang nembang :
"Gulung gulung kasa
Ana sintren masih turu
Wong nontone buru-buru
Ana sintren masih baru"
Yang artinya
menggambarkan kondisi sintren dalam kurungan yang masih dalam
keadaan tidur. Namun begitu kurungan dibuka, sang Sintren sudah berganti
dengan pakaian yang serba bagus layaknya pakaian yang biasa digunakan
untuk menari topeng, ditambah lagi sang Sintren memakai kaca mata
hitam. Sintren kemudian menari secara monoton, para penonton yang
berdesak-desakan mulai melempari Sintren dengan uang logam, dan begitu
uang logam mengenai tubuhnya, maka Sintren akan jatuh pingsan. Sintren
akan sadar kenbali dan menari setelah diberi jampi-jampi oleh
pawang. Secara monoton sintren terus menari dan penonton pun beruhasa
melempar dengan uang logam dengan harapan Sintren akan pingsan. Disinilah
letak inti dari seni sintren, tidak tahu apakah itu hanya adegan semata atau
memang benar-benar mengandung unsur magis.
Kesenian Sintren
merupakan warisan tradisi rakyat pesisiran yang harus dipelihara,
mengingat nilai-nilai budaya yang kuat di dalamnya, terlepas dari apakah
pengaruh majis ada di dalamnya atau tidak. Sintren menambah daftar panjang
kekayaan khasanah budaya sebagai warisan tradisi nenek moyang kita.
kisah Sulandono sebagai putra Ki
Baurekso hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari. Raden Sulandono memadu
kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara
tersebut tidak mendapat restu dari Ki Baurekso, akhirnya R. Sulandono pergi
bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan di
antara keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib.
Pertemuan tersebut diatur oleh
Dewi Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ke tubuh Sulasih, pada saat itu
pula R. Sulandono yang sedang bertapa dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui
Sulasih dan terjadilah pertemuan di antara Sulasih dan R. Sulandono. Sejak saat
itulah setiap diadakan pertunjukan sintren sang penari pasti dimasuki roh
bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila
sang penari masih dalam keadaan suci (perawan).
Kebudayaan
merupakan suatu hasil karya manusia yang berupa seni, adat, keyakinan, dan
pengetahuan. Pada umumnya kebanyakan orang mendefinisikan kebudayaan berupa
sebuab kesenian dan adat istiadat yang dimiliki oleh suatu daerah tertentu,
salah satu dari bentuk kebudayaan yang sering kita lihat adalah seni tari yang mana disajikan dengan berbagai gerakan yang indah dan
biasanya memiliki pesan tertentu yang akan disampaikan pada orang yang
melihatnya.
Salah satu
kesenian yang ada di Cirebon adalah seni tari yang disebut dengan tari sintren, kesenian tari ini
merupakan seni tari yang khas dari daerah Cirebon. Seni tari sintren sendiri mengandung unsur magis sehingga
tidak boleh untuk dibuat mainan, tari sintren ini biasanya dibawakan oleh
seorang wanita yang mengenakan kostum khusus dan berkacamata hitam, sebelum
melakukan tarian ini biasanya sang penari akan masuk ke dalam sebuah kurungan
yang ditutup oleh kain.
0 komentar