Adipati Karno Gugur
28 Desember 2019   5:35 |

Oleh Deni Hidayat
Arjuna dan Karno ibaratnya seperti saudara kembar. Meskipun mereka hanya saudara seibu lain Bapak, tetapi wajah keduanya bagai pinang dibelah dua. Bahkan karena begitu miripnya, Dewa Kahyangan Bathara Narada pun tidak mampu membedakan mana Arjuna yang mana Adipati Karno kala itu.
Kedua senopati perang telah bersiap di kereta perang masing – masing. Adipati karno dikusiri oleh mertuanya Prabu Salya. Adipati Karno tahu bahwa Prabu Salya tidak dengan sepenuh hatinya dalam mengendalikan kereta perangnya. Prabu Salya, juga tidak sepenuh hatinya dalam mendukung Kurawa dalam perang ini. Hati dan jiwanya berpihak kepada Pandawa meskipun jasadnya di pihak Kurawa. Karena putri – putrinya istri Duryudono dan Karno, maka dengan keterpaksaan yang dipaksakan Prabu Salya memihak Kurawa pada perang besar ini.
Meskipun demikian, berulang kali sebelum perang terjadi Prabu Salya membujuk Duryudono agar perang ini dibatalkan. Bahkan dengan memberikan Kerajaan Mandaraka kepada Duryudono pun, Prabu Salya merelakan asal perang ini tidak terjadi. Namun tekat dan kemauan Duryodono tidak dapat dibelokkan barang sejengkal pun. Tekad Duryudono yang keras dan kaku ini juga karena dukungan Adipati Karno yang menghendaki agar perang tetap dilaksanakan.
Adipati Karno, berkepentingan dengan kelanjutan perang ini demi mendapatkan media balas budi kepada Duryudono dan kurawa yang telah mengangkat derajatnya dan memberikan kedudukan yang terhormat sebagai Adipati Awangga yang masih bawahan Hastina Pura. Maka latar belakang ini pula yang menambah kebencian Salya kepada menantunya, Adipati Karno.
Atas permintaan Prabu Kresna, Arjuna menghampiri dan menemui Adipati Karno untuk mengaturkan sembah dan hormatnya.
Dengan menahan tangis sesenggukan Arjuna menghampiri kakak tertuanya ”Kakang Karno salam hormat saya untuk Kakanda. Kakang, jangan dikira saya mendatangi Kakang ini untuk mengaturkan tantangan perang. Kakang, dengan segala hormat, marilah Kakang saya iringkan ke perkemahan Pandawa kita berkumpul dengan saudara pandawa yang lain layaknya saudara Kakang…”
Adipati Karno ”Aduh adikku, Arjuna. Adikku yang bagus rupanya, tinggi kesaktiannya, mulya budi pekertinya. Sudah berapa kali kalian dan Kakang Prabu Kresna membujuk Kakang untuk meninggalkan Astina dan bersatu dengan kalian Para Pandawa.
Aduh..adikku, jikalau aku mau mengikuti ajakan dan permintaan itu, Kakang tidak ada bedanya dengan burung dalam sangkar emas. Kelihatannya enak, kelihatannya mulia, kelihatannya nyaman. Tapi adikku, kalau begitu, sejatinya Kakang ini adalah seorang pengecut, seseorang yang tidak dapat memegang omongan dan amanah yang telah diniatinya sendiri. Adikku…bukan dengan menyenangkan jasad dan jasmani Kakang jikalau kalian berkehendak membantu Kakang mencari kebahagiaan sejati.
Adikku, Arjuna, jalan sebenarnya untuk mendapatkan kebahagiaan sejatiku adalah dengan mengantarkan kematianku di tangan kalian, sebagai satria sejati yang memegang komitmen dan amanah yang Kakang menjadi tanggung jawab Kakang.
Oleh karena itu Adikku, ayo kita mulai perang tanding ini layaknya senopati perang yang menunaikan tugas dan tanggung jawab yang sejati. Ayo yayi, perlihatkan keprigelanmu, sampai sejauh mana keprawiranmu, keluarkan semua kesaktinmu. Antarkan kakangmu ini memenuhi darma kesatriaannya. Lalu sesudah itu, mohon kanlah pamit Kakang kepada ibunda Dewi Kunti. Mohonkan maaf kepadanya, dari bayi sampai tua seperti ini belum pernah sekalipun mampu membuatnya mukti bahagia meskipun hanya sejengkal saja.”
”Aduh Kakang Karno yang hamba sayangi, adinda mohon maaf atas segala kesalahan. Silakan Kakang kita mulai perang tanding ini”
Setelah saling hormat antara keduanya, perang tanding kedua senopati perang yang mewakili kepentingan berbeda namun demi prinsip. Keduanya mengerahkan segala kemampuan perang darat yang dimiliki. Perkelahian tangan kosong ini telah berlangsung sampai matahari sampai di tengah kubah langit. Tidak ada yang kalah tidak ada yang unggul sampai sejauh ini. Keduanya menyerang dengan sama baik, keduanya menghindar dengan sama sempurna.
Pertarungan tangan kosong dilanjutkan dengan pertarungan dengan senjata keris. Karno memulai dengan menerjang mengarahkan keris ke ulu hati Arjuna. Kini keduanya saling menerjang dengan keris terhunus di tangan. Masing – masing mencari sasaran yang mematikan sekaligus menghindar dari sergapan lawan. Adu ketangkasan keris ini berlangsung sampai matahari condong ke barat, hampir mencapai paraduannya di akhir hari. Tidak ada yang cedera dan mampu mencedarai, tidak ada yang kalah dan mampu mengalahkan.
Keduanya memutuskan perang tanding dilanjutkan dari atas kereta. Arjuna sekali melompat sudah sampai pada kereta Jaladara. Demikian juga Karno, sekali langkah dalam sekejap sudah bersiap di kereta perangnya.
Adipati Karna menyiapkan anak panah dengan ajian Naraca Bala, begitu dilepaskan dari busurnya terjadilah hujan panah yang mengerikan.Namun di sisi lain, Arjuna adalah satria kinasih Dewata dengan kesaktian tanpa tanding. Meski terkena ratusan anak panah Naraca Bala, tidak tergores sedikitpun.
Adipati Karno melihat kesaktiannya tidak mempan, maka disiapkannya Anak Panak Kunta Drewasa pemberian Dewa Surya. Jagad sudah mendengar bagaimana kesaktian anak panah ini, jangankan tubuh manusia gunung pun akan hancur lebur jika terkena anak panah ini. Prabu Salya tidak rela anak – anaknya Pandawa kalah dalam perang ini. Maka disentaknya kendali kerata perang, Tangan Karno pun goyah, dan lepasnya anak panah meleset dari sasaran.
Di sisi lain, Kresna tahu kesaktian pusaka itu dan apa yang akan terjadi kepada Arjuna jika Kunta Drewasa tepat mengenai sasarannya. Maka dihentaknya kereta kuda dengan kaki dan kesaktiannya. Roda kereta amblas dua jengkal menghujam bumi. Anak panah Kunta Drewasa terlepas, namun meleset tak menerjang leher dan mengenai gelung rambut Arjuna. Jebolnya gelung rambut Arjuna disertai dengan lepasnya topong keprabon yang dikenakannya. Arjuna malu karena gelung rambutnya ambrol dan topongnya, maka dengan sigap Kresna, menyambung rambut Arjuna dengan rambutnya sendiri. Digantikannya topong Arjuna dengan yang lebih bagus.
”Arjuna…,kelihatannya ini sudah sampai waktunya Adipati Karno menyelesaikan darma baktinya. Siapkanlah anak panah Pasopati dengan busurnya. Kiranya itu yang akan menjadi sarana menghantarkan Kakangmu Adipati Karno menuju kebahagiaan sejatinya”
Arjuna menyiapkan Panah Pasopati yang anak panahnya berbentuk bulan sabit. Ketajaman bulan sabit ini tak ada yang meragukannya. Arjuna adalah satria dengan tingkat keahlilan memanah mendekati sempurna. Dia membidik bukan dengan mata lahirnya namun dengan mata batinnya. Oleh karena itu, sangat akurat dalam mengenai bidikannya.
Sekarang anak panah Pasopati telah siap di busurnya. dikerahkan segala konsentrasinya, dibidiknya leher Adipati Karno. Dalam konsentrasi yang dalam ini, terikut serta dalam keraguan dan kegamangan, terbayang masih teringat, kakak sedarah dan asalnya yang sama, saudara yang dia cintainya. Tetapi dengan kematanganya sebagai seorang Satriya, Tugas amanah adalah janji yang harus dilaksanakan, mengikuti jalannya menyambut takdir yang sudah ditakdirkan, lalu di bidikkannya dan dilepaskan anak panah Pasopati, mengarah kepada leher Adipati Karno. Ditetapkannya hatinya, inilah cara yang dikehandaki sang Kakak untuk membuatnya bahagia. Dalam hati dia berdoa kepada Tuhan Yang Maha tunggal, agar kiranya mengampuni kesalahannya ini.


0 komentar