Tari Wayang Adipati Karna



Tari Adipati Karna termasuk kedalam kategori Tari wayang. Berdasarkan Gerakan Dasar tarinya, Tarian ini juga termasuk kedalam Tari Putra Halus. Seperti yang kita ketahui dalam cerita pewayangan, Karna, alias Radeya adalah nama Raja Angga dalam wiracarita Mahabharata. Ia menjadi pendukung utama pihak Korawa dalam perang besar melawan Pandawa. Karna merupakan kakak tertua dari tiga di antara lima Pandawa: Yudistira, Bimasena, dan Arjuna. Adipati Karna adalah putra dari Dewi Kunti, yaitu putri Prabu Kuntiboja di Madura. Waktu muda ia bernama Suryaputra. Waktu Dewi Kunti belum bersuami ia telah hamil karena mempunyai ilmu dari Begawan Druwasa, dan ilmu itu tidak boleh diucapkan dalam sinar matahari (siang hari). Jika diucapkan dalam sinar matahari ia akan jadi. hamil. Tetapi Dewi. Kunti lupa akan larangan itu, maka hamillah ia. Oleh pertolongan Begawan Druwasa, kandungan itu dapat dilahirkan keluar dari lubang kuping, maka diberi anak itu diberi nama Karna (karna berarti kuping). Karna diaku anak angkat oleh Hyang Surya. Waktu Karna dilahirkan lalu dibuang ia ditemukan oleh Prabu Radea, raja di Petapralaya, terus diaku anak dan diberi nama Radeaputra.



Setelah dewasa, ia berkenalan dengan seorang puteri di Mandraka bernama Dewi Surtikanti. Perkenalan itu diketahui oleh Raden Pamade, hingga terjadi perang tanding. Karna mendapat luka di pelipis dan akan dibunuh oleh Pamade. Tetapi Hyang Narada, turun dari Kahyangan untuk mencegah kehendak Pamade itu dan Narada menerangkan, bahwa Kama itu saudara Pamade (Pandawa) yang tertua, malah seharusnya Pamade membantu perkawinan Karna dengan Surtikanti. Dan seketika itu juga Hyang Narada menghadiahkan mahkota. pada Karna untuk menutup luka di pelipisnya.



Pamade dan Karna pergi ke Awangga dan membunuh raja raksasa di Awangga bernama Prabu Kalakarna, yang, mencuri Dewi Surtikanti. Kemudian Surtikanti dihadiahkan kepada Karna untuk jadi isterinya dan Karna bertahta sebagai raja di Awangga berpangkat Adipati, suatu pangkat yang hampir setara raja, dan bergelar Adipati Awangga. Karna kesatria sakti dan mempunyai senjata bernama Kunta Wijayadanu.

Dalam perang Baratayudha, Karna berperang dengan Arjuna, saudara sendiri, hingga Karna mati dalam perang sebagai kesatria. Tewasnya Adipati Karna dalam perang Baratayuda dianggap utama karena ia mati dalam perang untuk membela negeri Hastinapura, setia hingga mati, tak memandang bermusuhan dengan saudara sendiri. Teladan keutamaan Adipati Kama ini dikarang oleh KGPAA Mangkunegara IV untuk pengajaran pada kerabat dan tentara Mangkunegaran, tetapi umumnya juga diikuti oleh khalayak. Buku tersebut berjudul Tripama.



Salah satu contoh keistimewaan sosok Karna di kalangan masyarakat Jawa dapat kita lihat pada akhir tahun 2010 kemarin, ketika gunung Merapi mengamuk, mata orang banyak tertuju pada sosok Mbah Maridjan. Setelah akhirnya Si Mbah meninggal dunia karena wedus gembel Merapi, banyak orang yang kemudian mengasosiasikan Si Mbah dengan sosok Adipati Karna. Dari perspektif kelompok masyarakat tertentu, kedua tokoh tersebut dihormati karena keberanian serta keikhlasan mereka untuk berkorban demi sebuah kebenaran yang mereka percaya. Tak banyak orang yang berani memilih cara hidup seperti kedua tokoh tersebut. Di dalam dunia yang semakin pragmatis ini, sosok Mbah Maridjan tampil mencolok, sepanjang hidup hingga ajal menjemputnya, ia setia dengan prinsip kebenaran yang ia percayai tanpa mempedulikan nilai-nilai pragmatis yang timbul di kalangan masyakarat. Dari sisi tertentu, sosok Si Mbah akhirnya mengajak sebagian masyarakat Jawa untuk bernostalgia kepada sosok Adipati Karna. Atas dasar itulah akhirnya Mbah Maridjan diasosiasikan dengan sosok Adipati Karna yang agung. Tentu saja sekali lagi, harus dilihat dalam konteks yang luas, bukan pragmatisnya saja.

Pada akhirnya penilaian terhadap sosok Adipati Karna akan bergantung pada perspektif mana yang akan dipilih, luas? Atau pragmatis? Yang pasti agar semakin terang dan jelas, dibutuhkan pemahaman dan penelaahan lebih mendalam terhadap sosok Adipati Karna serta tokoh-tokoh lain di wiracarita Mahabharata. Proses itu tentu saja akan sangat bermanfaat bagi kekayaan khazanah budaya Nusantara, mengingat banyak sekali kandungan filosofis serta nilai-nilai luhur dari mahakarya sastra tersebut yang dapat dipetik dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.


Tari wayang Adipati Karna berasal dari Cirebon dan mulai dipopulerkan sekitar tahun 1970, alat musik yang digunakan biasanya menggunakan gamelan lengkap atau kaset namun, saat ini yang sering digunakan adalah kaset selain praktis, dalam hal biaya pun terbilang lebih murah.

Jumlah penari Adipati Karna biasanya berjumlah ganjil yaitu 1 orang, 3 orang, 5 orang, atau 7 orang bahkan bisa tergantung dari kebutuhan atau permintaan, lagu utama yang digunakan untuk mengiringi tari wayang Adipati Karna yaitu lagu Semarangan, pewatakan tokoh wayang ini dalam bahasa jawa disebut Satria Ladak yang artinya Ksatria, disebut ksatria karena seseorang yang gagah, berani, berjiwa juang, mampu berkorban, jujur, setia, dan dapat menjadi pemimpin yang baik. Pagelaran seni wayang ini biasanya digelar di Keraton Kasepuhan Cirebon ataupun di acara pementasan sebuah instansi.

Seni tari wayang ini bisa digunakan untuk acara resmi maupun tidak contohnya seperti memperingati hari jadi Kabupaten Cirebon, memperingati haul, upacara adat pernikahan, khitanan, pengisi acara dalam pagelaran seni, karnaval, festival seni dan lain sebagainya. Namun sayangnya pada zaman sekarang yang telah berkembang ini, tari wayang Adipati Karna kurang populer di kalangan masyarakat karena sedikitnya jumlah orang yang bisa menari wayang tersebut dan tidak semua sanggar seni memiliki wayang Cirebon, hal ini lah yang membuat tari wayang Adipati Karna semakin tidak populer di wilayah kota Cirebon terutama di kalangan anak-anak.

Aktualisasi Spirit Karna

Adipati Karna, di dalam Serat Tripamama Yasa, dinyatakan sebagai sosok ksatria yang dinyatakan layak diteladani, bersama Bambang Sumantri – sang patih bagi Prabu Arjuna Sasrabahu di Kraton Maespati, dan Kumbakarna – adik Raja Rahwana dari Kerajaan Alengka. Tentunya ada keistimewaan pada kepribadian Adipati Karna sehingga KGPAA Mangkunegoro IV memilihnya sebagai role model bagi para ksatria Jawa.

Menurut hemat saya, ada beberapa karakter utama Adipati Karna yang layak diteladani dan dihidupkan pada keseharian kita, yaitu: pertama, kesadaran akan lakonnya sebagai seorang ksatria – dan itu membuatnya berani menanggung resiko kalah ataupun menang dalam satu pertarungan. Ia berprinsip, nilai atau derajat seorang ksatria bukan terletak dalam kemenangan atau kekalahan dalam sebuah pertarungan, melainkan dalam bagaimana ia menjalani pertarungan itu. Seorang ksatria sejati adalah mereka yang bertarung dengan penuh kesungguhan, mengeluarkan semua kemampuan terbaiknya, tak peduli menang atau kalah. Bahkan, dalam kasus Adipati Karna, ketika ia sadar pasti kalah melawan Arjunapun, ia tetap bertarung gigih hingga titik darah penghabisan, sehingga pertarungannya melawan Arjuna menjadi salah satu pertarungan paling agung dalam sejarah pewayangan. Kedua, Adipati Karna adalah pribadi yang rela mengorbankan diri untuk kepentingan lebih besar, yaitu kepentingan sosial dan tegaknya keadilan. Ketika ia memilih untuk memihak Kurawa, itu bukan semata-mata karena tindakan balas budi atas kebaikan Prabu Duryudana. Juga bukan karena rasa dendam terhadap saudara-saudara tirinya di pihak Pendawa. Tapi itu dilakukan untuk memuluskan terjadinya Bharata Yudha yang diyakini memang harus terjadi agar Pendawa tak selalu tertindas, dan agar keadilan bisa tegak

0 komentar