Adipati Karna

Konsistensi Panglima Perang Hastina

Oleh  Deni Hidayat


Wonten malih, kinarya palupi, Basukarna  narpati   Ngawangga,
lan Pandhawa tur kadange, len yayah tunggil ibu, suwita  mring
Sri Kurupati, aneng nagri Ngastina kinarya gul-agul,   manggala
Golonganing prang, Bharatayuda ingadeken senopati, ngalaga ing Kurawa


Tembang Dhandhanggula di atas mengingatkan kita pada karya Sri Mangkunegara IV dalam Serat Tripama yang sampai saat ini masih tetap melegenda dalam konsepsi  budaya Jawa. Serat Tripama merupakan tulisan yang menampilkan tiga tokoh wayang  yang patut dan dianjurkan untuk dijadikan teladan bagi orang yang ingin mengabdikan diri  dalam bidang keparajuritan dan   kewiraan. Tokoh wayang tersebut adalah Mahapatih Sumantri dari Maespati, Mahawira Kumbakarna dari Alengka, dan Adipati Basukarna dari Hastina.
Adapun tembang Dhandhanggula di atas bila diterjemahkan bebas kurang lebih sebagai berikut : “Ada lagi teladan yang pantas dicontoh. Basukarna seorang raja dari Ngawangga, dengan Pandawa yang masih bersaudara, lain ayah tetapi sekandung (sama ibu), yang dengan setia mengabdi  kepada Prabu Kurupati dari negeri Hastina sebagai benteng, panglima perang, dalam perang Bharatayuda menjadi Panglima Perang untuk membela Kurawa”.
            Menelusuri tokoh wayang yang satu ini memang sangat menarik. Basukarna atau nama kecilnya Karna dilahirkan ke mayapada, akibat kesalahan Dewi Kunti. Putri Mandura itu bermain-main dengan mantra Druwasa. Ia ingin bertatap muka dengan Batara Surya yang cakap dan tampan. Dari perbuatannya yang kurang hati-hati itu, akhirnya beberapa bulan ia mengandung. Alangkah aib peristiwa itu. Beruntung, Resi Druwasa berkenan untuk menolong. Sang bayi dilahirkan lewat telinga. Itulah sebabnya, dia dinamakan Karna yang berarti telinga. Lengkapnya Basukarna, karena sesungguhnya, ia putra seorang basu. Dalam hal ini dimaksudkan sebagai putra Resi Druwasa, karena dialah penyebabnya. Disebut pula dengan nama Suryaputra, karena putra Dewa Surya, sang penguasa matahari.
Demi menjaga nama keluarga dan kehormatan negeri Mandura, Karna harus dibuang. Sebelum dibuang dengan air mata bercucuran layaknya seorang ibu Dewi Kunti mendekap bayi itu erat-erat sembari menciuminya dengan penuh kasih sayang. Diam-diam ia menyematkan kalung berliontin  separuh pada lehernya. Yang separuhnya disimpannya. Siapa tahu, Karna dapat diketemukan kembali di kemudian hari. Sedangkan liontin yang terbagi dua dengan diukir setengah namanya pula, akan menjadi tanda bukti yang tak terbantahkan lagi. Dengan hati-hati, anak itu dimasukkan ke dalam kotak. Sepintas ketika mengamati untuk terakhir kalinya, Kunti melihat anak itu ternyata beranting-anting dan dadanya mengenakan perisai yang bersembunyi dibalik kulit dagingnya.




                                           Adipati Karna naik Kereta Jathisura dalam perang
                                                Bharatayuda    (Foto:Koleksi Pribadi)

            Kotak itu membawa Karna  terapung-apung di atas sungai Gangga.Adirata yang sedang mencari ikan menemukannya dan dengan girang anak itu dipelihara layaknya anak sendiri, karena sudah sekian lama berkeluarga ia belum dikaruniai momongan. Adirata adalah seorang sais istana Hastina. Dengan penuh kasih sayang, ia membesarkan Basukarna. Dan Basukarna tumbuh menjadi seorang pemuda yang cekatan dan berotak cerdas. Ia tidak hanya pandai menyerap semua ajaran ayah angkatnya sebagai sais kereta, tetapi ia juga mengenal ilmu bintang. Dengan mudah ia menguasai  dan menaklukkan kuda betapa binalpun. Bahkan harimau yang masih ganas tunduk pada perintah-perintahnya.



         
                                                  Adipati Karna menerima Panah Kuntawijayandanu
                                                               (Foto: Koleksi Pribadi)
             Pada suatu hari ia ikut Adirata ke istana. Ia tertarik kepada para Kurawa dan Pandawa yang sedang belajar ilmu perang. Dengan penuh perhatian ia mengamati mereka. Tampak di hadapannya, ia melihat kesalahan dan kecanggungan Kurawa  melakukan petunjuk Resi Druna dan ajaran Resi Krepa. Sebaliknya, ia kagum menyaksikan ketangkasan dan kecerdasan Pandawa berolah berbagai senjata. Timbullah suatu kegelisahan di dalam hatinya.
 “ Dapatkah aku ikut berlatih bersama mereka ayah ?” tanya Karna.
 “ Oh tidak, anakku,” jawab Adirata.
 “ Mengapa ayah ?” kejar anak angkatnya itu
Dengan terbata-bata sang ayah menjawab,”Karena engkau hanya anak seorang sais kereta kerajaan.”
Pedih dan pahit benar bunyi jawaban itu. Tetapi ayah angkatnya menjawab dengan jujur. Menghadapi kenyataan itu, terjadilah suatu pemberontakan dalam  hatinya. Kenapa ia dilahirkan sebagai anak seorang kusir ?
Jiwa yang berontak itu melebihi perasaan rendah diri. Ia tak mau kalah, karena merasa lebih mampu daripada ketangkasan Pandawa. Mulailah ia mencari akal. Diam-diam ia selalu  hadir untuk mengintip semua ajaran Resi Druna dan Resi Krepa ketika memberi pelajaran kepada keturunan darah Bharata itu. Sesampainya di rumah, ia berlatih dengan tekun. Tujuannya, ia ingin mempunyai kepandaian sejajar dengan mereka. Dengan didukung kemauan kuat, kekerasan hati dan ketekunannya, jadilah ia berhasil mengatasi perasaan rendah diri. Semua pelajaran Resi Druna dan Krepa dapat dikuasai dalam waktu relatif singkat. Kemudia ia menjelma menjadi seorang pemuda yang berhak mengangkat diri di tengah pergaulan masyarakatnya.  Hal itu terjadi tak lama kemudian.
Pada suatu hari, penduduk berbondong-bondong memenuhi arena laga putra-putra Raja Hastina. Kurawa dan Pandawa hendak mempertontonkan ketangkasannya berolah senjata yang diajarkan Resi Druna dan Krepa. Ketika pertandingan dimulai, segala macam keahlian dipertunjukkan. Kurawa merasa gelisah, resah, cemburu, iri, mendongkol, dan dendam karena menyaksikan  betapa Pandawa jauh lebih tangkas dan  mahir daripada kelompok mereka. Apalagi Arjuna. Ksatria berwajah tampan ini, kelihatan paling menonjol. Segala macam senjata dikuasainya dengan sempurna. Bidikan anak panahnya tak pernah meleset dari sasaran. Bahkan mampu menembus sasaran berlapis tujuh sekali bidik. Semua penonton berdiri mengelu-elukan dan menyanjungnya tiada henti.
Dalam kegemparan yang diliputi tarik ulur tersebut, tiba-tiba semua hadirin dikejutkan oleh suara lantang yang bergema laksana halilintar menyambar. Ternyata ada seorang penonton yang masih muda belia telah meloncat masuk gelanggang. Itulah Basukarna yang sudah tak kuasa menahan diri melihat kesuksesan Arjuna dan  menyaksikan Kurawa junjungannya selalu mendapat kekalahan,  hatinya berontak.
Tanpa pikir panjang, ia kemudian memperlihatkan semua apa yang dilakukan oleh Arjuna dengan sangat sempurna. Penonton pun dibuat kagum dibuatnya termasuk para ketua Hastina. Sedangkan Kunti yang berada di atas panggung sudah berdebar-debar hatinya. Kemiripan wajah Basukarna dengan Arjuna tak lepas dari perhatiannya. Dan setelah melihat dengan jelas pemuda itu memakai anting-anting bergambar matahari bercahaya, persis dengan kalung yang ia pakai sendiri. Kunti tak ragu-ragu lagi, itulah Suryaputra putra pertamanya. Bahkan ketika Arjuna dan Karna siap berlaga dilindungi simbol-simbol kekuatan Batara Surya dan Batara Indra yakni matahari dan guntur saling berkejaran, seketika itu mata Dewi Kunti menjadi berkunang-kunang.

Dalam keadaan kalut Resi Krepa melerai mereka, dan menegur Karna yang tak pantas masuk ke gelanggang karena bukan dari golongan ksatria. Seketika itu dada Basukarna seperti terbelah, karena menahan kepedihan yang tak terkira. Beruntung Duryudana tanggap, saat itu juga derajat Basukarna diangkat menjadi Adipati di Awangga. Kedudukannya sejajar dengan golongan ksatria. Kata-kata Duryudana inilah yang menyebabkan Basukarna setia kepadanya. Sebab kata-kata itu sendiri berarti memberinya hak hidup.  Sekaligus ia terangkat dari lembah hina sebagai seorang yang mulia. Kemuliaan sekaligus kehormatan itu pantas ditebus dengan taruhan jiwa dan raga.

0 komentar