Tahap pertama, penari Sintren
dimasukkan ke dalam kurungan bersama pakain biasa (pakaian sehari-hari). Tahap
kedua, pawang membawa anglo berisi bakaran kemenyan mengelilingi kurungan
sambil membaca mantra sampai dengan busana Sintren dikeluarkan. Tahap ketiga,
kurungan dibuka, penari Sintren sudah berpakain biasa dalam keadaan tidak
sadar. Selanjutnya pawang memegang kedua tangan penari Sintren dan meletakkan
di atas asap kemenyan sambil membaca mantra sampai Sintren sadar kembali,
pertunjukan Sintren selesai. Dahulu pertunjukan Sintren sering dilakukan oleh
para juragan padi sesaat setelah panen, sebagai ungkapan rasa syukur atas
keberhasilan pertaniannya atau pada musim kemarau untuk meminta hujan, maka
dalam pertunjukannya akan dilantunkan lagu yang syairnya memohon agar
diturunkan hujan. Namun kini pertunjukan Sintren sangat jarang. Penulis
teringat saat kecil pada periode waktu tahun 1975-1990-an masih sering
menjumpai di desa dan desa tetangga banyak dijumpai warga yang menanggap
pertunjukan Sintren, kini sangat sulit menjumpainya. Pertunjukan Sintren kini
dilakukan secara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain oleh pelaku seni
Sintren. Bahkan berdasar pengetahuan penulis, saat ini hanya ada satu desa yang
masih mempunyai grup kesenian Sintren yang tetap eksis yaitu di dusun Sirau
Kelurahan Paduraksa dan Kabupaten Pemalang yaitu Paguyuban Sintren Lintang
Kemukus dan Paguyuban Sintren Slamet Rahayu yang diketuai oleh Radin Anom
dengan jumlah pengurus 15 orang, selain itu kesenian sintren dapat juga
dijumpai di Desa Banjarmulya Kecamatan Pemalang. Sintren dalam tarikan antara
tradisi dan modernitas melalui pendekatan fenomologi dengan menggunakan teori
modernisasi dan fungsional. Hal tersebut berdasar asumsi bahwa setiap unsur
budaya tidak akan pernah terbebas dari perubahan yang disebaban oleh arus
modernisasi. Di mana salah satu teori yang muncul dalam menjawab perubahan
sosial masyaraat menuju modern adalah teori modernisasi. Teori ini mendasarkan
pada konsep evolusionisme. Teori modernisasi ini dipelopori oleh Karl Marx, Max
Weber dan Emile Durkhiem.8 Sintren sebagai suatu seni adalah salah satu dari
bagian kebudayaan yang terkena imbas arus modernitas, yang tidak tersaring
secara ketat menyebabkan proses akulturasi budaya berjalan lancar.
Bentuk-bentuk modernitas, misalnya tempat-tempat hiburan yang bersifat modern
antara lain: bioskop, café, karaoke, mall, dan sebagainya menggusur keberadaan
kesenian sebagai alternativ hiburan yang mengandung unsur-unsur pendidikan dan
pencerahan, khususnya kesenian tradisional. Modernitas dalam bentuk teknologi
hiburan, besar pengaruhnya terhadap kesenian tradisional. Kesenian tradisional
membutuhkan proses yang lama dalam memahami dan menampilkan, berbeda dengan
teknologi hiburan modern yang bersifat instant. Di sinilah akan terjadi
cultural lag dalam kebudayaan berkaitan dengan keberadaan kesenian tradisional.
Menurut Koentjaraningrat, bahwa cultural lag adalah perbedaan antara taraf
kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan suatu masyarakat. Artinya ketinggalan
kebudayaan, yaitu selang waktu antara saat benda itu diperkenalkan pertama kali
dan saat benda itu diterima secara umum sampai masyarakat dapat menyesuaikan
diri terhadap benda tersebut. Dalam kasus ini, benda yang dimaksud di atas
dapat diterapkan sebagai kesenian tradisional. Suatu culture lag terjadi
apabila irama perubahan dari dua unsur perubahan (mungkin lebih) memiliki
korelasi yang tidak sebanding sehingga unsur yang satu tertinggal oleh unsur
lainnya. Dari fakta tersebut menjadikan kesenian tradisional sebagai bentuk
yang ketinggalan zaman. Salah satu bentuk kesenian tradisional yang kentara
terkena imbasnya adalah kesenian tradisional Sintren. Para pekerja seni Sintren
sebagai aset sumber daya manusia harus berjuang melawan modernitas, sebagai
kaum minoritas yang menyampaikan nilai-nilai egalitarian dalam pementasannya,
mereka telah ikut andil dengan caranya dalam pelaksanaan mengisi pembangunan,
baik fisik maupun non fisik/sosial demi kelangsungan hidup para seniman Sintren
tersebut. Dalam pertunjukan Sintren para penonton yang datang bukan hanya dari
desa setempat saja. Dari luar desapun banyak yang berdatangan untuk sekadar
menonton ataupun menginginkan romantisme lama atau ada juga yang menghendaki
supaya budaya setempat langgeng sampai anak cucu. Dalam perspektif lain
sebenarnya kehadiran Sintren justru dapat menjadi alternatif bagi pelaku seni
sintren maupun masyarakat yang terlibat di dalam pertunjukan kesenian tersebut,
untuk pemberdayaan ekonomi mikro, ditengah himpitan modernitas dan globalisasi
yang secara masif menghimpit rakyat kecil, pementasan sintren menjadi sesuatu
yang mendatangkan manfaat secara ekonomi. Dibalik kesederhanaan, keikhlasan,
kepolosan, seorang gadis penari sintren ternyata sedikit banyak mampu
mendongkrak susana sepi menjadi keramaian penuh optimis penduduk suatu desa. Di
mana sebagian penduduk dapat memberdayakan eonomi skala mikro melalui usaha
dagang seperti; krupuk sambal, tahu aci, mainan anak-anak, pecel, serundeng
lumping kerbau dan lainlain, yang dilakukan dengan selalu mengikuti pertunjukan
keliling sintren darisatu desa ke desa lain.
Keberdayaan kesenian tari Sintren
Opini masyarakat Pemalang terhadap kesenian Sintren sedikitnya ada tiga
kategori yang mewakili berbagai aliran opini yang berkembang di masyarakat.
Pertama, kelompok masyarakat yang secara tegas (tanpa kompromi) menolak
eksistensi kesenian Sintren karena berasumsi bahwa kesenian Sintren tidak
sejalan dengan nalar keagamaan (penuh nuansa mistis). Kedua, kelompok yang mengakui
eksistensi kesenian Sintren dan berusaha melestarikannya. Kelompok ini
terwakili oleh para seniman dan pemerhati seni etnik. Ketiga, kelompok yang
masa bodoh dan tidak ambil pusing tentang Sintren dan masa depannya nanti.
Faktor yang membuat kesenian Sintren kehilangan pamornya antara lain karena
masyarakat sendiri yang sudah tidak peduli pada kesenian Sintren. Mereka
beranggapan, pementasan kesenian Sintren sudah tidak relevan dengan
perkembangan zaman. Selain itu juga tidak adanya wadah (sanggar) tempat bertemu
sesama anggota dan para pemerhati seni tradisional. Lemahnya manajemen grup
Sintren, ditengarai juga ikut memengaruhi citra kesenian Sintren. Dahulu,
kesenian Sintren hanya dikelola secara musiman dan baru bergerak jika ada
undangan pentas ataupun festival namun kini pertunjukan Sintren dilakukan
secara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain. Dalam pandangan masyarakat
pelaku seni tradisional. menghidupkan kesenian Sintren seakan tidak lebih dari
sebuah "pengabdian" untuk melestarikan budaya warisan nenek moyang,
atau hanya sekedar ingin mempertahankan nilainilai kearifan yang tersimpan di
dalamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh anggota Paguyuban Sintren Slamet
Rahayu dusun Sirau Kelurahan Paduraksa. Jadi, mempertahankan nilai-nilai seni
budaya itulah agaknya yang dijadikan pertimbangan. Memutuskan menjadi penari
Sintren barangkali merupakan sebuah keberanian dan secara moral patut dihargai
sebagai bentuk ketulusan menjaga nilai-nilai kesucian. Dalam prosesi pementasan
Sintren ada semacam persyaratan khusus, si penari harus benar-benar masih
perawan (suci) lahir batin, dalam arti secara fisik masih gadis (perawan) dan
secara psikologis belum terhegemoni oleh pengaruh modernitas (masih lugu).
Karena itu umumnya penari sintren berasal dari kalangan gadis cilik usia
sekolah setingkat kelas 5 atau 6 Sekolah Dasar. Syarat lainnya hanya berkaitan
dengan teknis, tentunya harus bisa menari. Kini Sintren di Pemalang sebagai
sebuah tradisi disebabkan tekanan modernitas hampir menjadi sepenggal kenangan
sejarah. Meski masih ada pihak yang berusaha melestarikannya, terbukti di salah
satu desa masih terdapat group Sintren yang tampil secara keliling. Sebagaimana
paguyuban seni Sintren Slamet Rahayu di dusun Sirau Kelurahan Paduraksa
Kecamatan Pemalang.
0 komentar