SEJARAH LAHIRNYA SENI
TOPENG
Manusia pada jaman kehidupan primitif masih mempunyai sifat-sifat
kehidupan yang sederhana, dan masih tebal kepercayaannya kepada roh-roh halus.
Sifat kehidupan mereka terlukis pada karya-karya topeng yang mereka ciptakan.
Kepercayaan mereka pada roh-roh pada waktu itu diungkapkan lewat bentuk-bentuk
hidung, mulut, dan mata topeng dengan gaya yang masih sederhana. Hal ini
disebabkan hidung, mulut, dan mata itu dianggapnya mempunyai sifat-sifat
tertentu, misalnya sifat magis, menakutkan, sakti, dan sebagainya. Jadi sifat
itu merupakan gambaran rohani mereka yang mendorong untuk melandasi ciptaannya.
Kemudian pada
perkembangannya masyarakat dijaman selanjutnya, seni topeng berkembang menjadi
permainan anak-anak. Semula untuk membuat topeng semacam itu anak-anak hanya
mencoretkan langsung pada muka anak-anak yang lain. Perkembangan selanjutnya
coret-coret dipindahkan pada bentuk lain. Misalnya pada tempurung kelapa, kayu
dan sebagainya, kemudian topeng permainan anak-anak itu mendapat pengaruh dari
raja-raja (keraton) dan selanjutnya dikembangkan dibawah kekuasaan
mereka.
Masuknya kebudayaan
hindu Indonesia, dan kemudian disusul pengaruh islam ke Indonesia maka kedua
kebudayaan itu ternyata mampu membentuk suatu kebudayaan Indonesia (khususnya
di Jawa dan Bali) menjadi kebudayaan klasik. Maka bermula dari topeng jenis
permainan anak-anak dipengaruhi juga oleh dua kebudayaan asing tersebut.
Akhirnya terjadilah seni topeng klasik, kemudian topeng tersebut dipergunakan sebagai
penutup muka penari pada drama tari klasik. Disamping itu topeng juga untuk
menggambarkan karakter-karakter tokoh dalam lakon atau cerita misalnya cerita
Ramayana, Mahabarata dan lain-lain. Perkembangan seni topeng yang kreatif tadi
didasari oleh seni topeng warisan nenek moyang yang disesuaikan kepribadian
masing-masing pencipta. Sehingga kemudian pada corak topeng banyak tampak baik
unsur bentuk, goresan-goresan maupun unsur warna. Karena topeng yang lama
merupakan inspirasi untuk mewujudkan topeng kreasi baru.
Sejarah Lahirnya Seni
Topeng
1. Lahirnya
Topeng Primitif
Dijaman prasejarah
kehidupan nenek moyang kita masih primitif dan sederhana. Manusia masih tebal
sekali kepercayaannya terhadap beberapa kehidupan roh-roh halus. Mereka
beranggapan bahwa di samping kehidupan mereka di dunia ini. Masih ada kehidupan
lain yang ada diluar kehidupan mereka yaitu kehidupan makhluk-makhluk halus.
Makhluk-makhluk ada yang mempunyai sifat-sifat jahat, sakti ataupun mempunyai
sifat baik. Kekuatan sakti yang khayali, alam mimpi berada dalam nurani nenek
moyang kita, maka mereka mendapat keselamatan dari roh-roh nenek moyang itu.
Mereka perlu menghormati roh-roh dari orang yang meninggal pada masa hidupnya
mendapatkan kepercayaan besar, dianggapnya roh itu dapat menjelma kembali di
dunia ini dan manusia masih memerlukan keselamatan dari roh tersebut. Seperti
halnya waktu orang tersebut masih hidup. Terutama roh-roh dari kepala suku
mereka sedang penjelmaan kembali roh-roh itu di dunia dapat dibantu oleh
batu-batu besar, pohon-pohon besar dan sebagainya. Disamping pada benda-benda
alam, manusia menciptakan juga berbagai bentuk perwujudan misalnya roh nenek
moyang dan benda-benda pemujaan lainnya, ini dimaksudkan agar benda ciptaan
mereka tersebut dapat menjelma roh-roh itu atau merupakan tempat penitisan dari
kekuatan sakti maupun dewa-dewa. Disamping arwah nenek moyang kita juga membuat
bentuk-bentuk topeng sebagai gambaran atau perlambangan roh-roh halus. Hal ini
dimaksudkan bahwa unsur muka meperti mata, gigi, hidung mempunyai sifat
kekuatan yang magis dan sakti maka nenek moyang kita menciptakan bentuk-bentuk
topeng yang magis sebagai lambang perwujudan roh-roh halus lambang
kekuatan sakti serta hal-hal yang khayali lainnya ada suatu pendapat bahwa
dorongan lahirnya seni telah disimpulkan oleh Salmon Reimoch dalam bukunya My
The Cultus Et Relegius. Disini dinyatakan bahwa kehadiran seni adalah guna
mendapatkan tenaga-tenaga gaib, yang membantu untuk keperluan berburu dan lain
sebagainya. Pendapat ini diperkuat oleh S. Godeon yang menyatakan bahwa seni
merupakan jalan atau cara yang lazim untuk mendapatkan kekuatan dalam
memperoleh kekuatan.
Topeng warisan nenek
moyang setelah selidiki ternyata topeng itu mengandung nilai seni, sekaligus
merupakan bagian dari seni rupa. Jadi jelaslah bahwa lahirnya seni topeng di
jaman kehidupan nenek moyang adalah karena dorongan rohani untuk
tujuan-tujuan tertentu. Kemudian topeng dipergunakan sebagai alat perantara
untuk berkomunikasi antara manusia dengan hal-hal yang ada diluar jangkauan
manusia, yaitu kehidupan roh-roh halus. Sebagai contoh ialah ada beberapa
topeng untuk keperluan upacara agama, upacara kematian dan ada juga topeng yang
dipergunakan untuk keperluan seni tari yang bersifat magis atau sebagai lambang
penolak yang jahat dan sebagainya.
Di Kalimantan terdapat
topeng untuk upacara kematian yang disebut “Tiwah” terdapat di daerah sungai
sampit.
Begitulah proses
penciptaan topeng primitif sebagai pelambangan roh-roh halus atau sebagai
penghubung antara manusia dengan alam ghaib.
menurut Drs.
Gudaryono
Apabila topeng
prehistoric lahir dengan dorongan rohani, sedang topeng klasik berbeda halnya
ialah bahwa topeng klasik berbentuk atas dasar penokohan yang erat sekali
hubungannya dengan lakon-lakon dalam cerita Panji, Mahabarata, dan Ramayana.
Sedang cerita rakyat ialah cerita tentang binatang-binatang seperti barong,
randa, dewa dan sebagainya.
Melalui lakon-lakon
dalam cerita tersebut didalamnya terdapat tokoh-tokoh yang banyak jumlahnya dan
bermacam-macam sifatnya. Maka timbul suatu ide untuk membuat bentuk perwujudan
watak atau karakter yang berbeda, yang sesuai dengan tokoh-tokohnya. Jadi
karakter wajah-wajahnya diciptakan dengan ekspresi jiwa setiap tokohnya.
Menurut Raden Panji
Koesoemowardoyo dan Reden Ngabei Reksoprojo pada “ Pengantar Koleksi Topeng ke
Pameran Kolonial di Amsterdam (1883), diterangkan mengenai sejarah terjadinya
topeng, bahwa pada permulaannya ada sembilan tokoh topeng yang melambangkan
tokoh dari pemain wayang. Sembilan tokoh itu adalah :
1.
Klono Prabujoko, tokoh ini menggambarkan tokoh Bimo kusen
2.
Klono alus atau klono trijaya, menggambarkan tokoh wayang bolodewa
3.
Panji kesatrian, topeng ini menggambarkan bentuk arjuno
4.
Kartolo, topeng ini melambangkan tokoh Bimo
5.
Gunungsari, dalam bentuk sombo
6.
Condrokirono, dalam bentuk sembodro
7.
Kumudananingrat, melambangkan tokoh srikandi
8.
Temben, topeng ini melambangkan tokoh semar
9.
Pentul dalam bentuk baneak
Salah seorang tokoh
membuat topeng pada waktu itu adalah Pengeran Adipati Saudara Sunan Pakubuwono
ke IV. Dialah yang menyamakan tokoh Klono dengan Bimo Kusen.
2. Topeng Jawa Tertua
Ada beberapa pendapat
yang mengatakan bahwa topeng ini mengambil dari cerita-cerita mithe atau
cerita-cerita panji. Hal ini ada kemungkinannya karena topeng-topeng jawa yang
tertua itu lebih tuah dari pada pengaruh hindu maupun islam. Tertua disini
dimaksudkan bahwa topeng itu lahir sesudah prohistoris kemudian setelah
terdapat pengaruh hindu dan islam baru memakai klasik. Topeng jawa tertua
(sejak yang pertama kali) masih bersifat sederhana, yaitu belum sempurna
topeng-topeng sesudahnya, seperti topeng klasik yang sampai sekarang masih
banyak di dalam kehidupan kesenian Jawa dan Bali.
Mula-mula topeng hanya
terdapat pada permainan anak-anak terdapat dari beberapa warna yang dicoretkan
langsung pada wajah. Kemudian perkembangannya, warna itu dipindahkan pada benda
lain, misalnya pada tempurung kelapa, kayu dan sebagainya.
Kemudian seni patung
masuk ke dalam kekuasaan raja-raja atau keraton dan mendapatkan kesempurnaan
dan seterusnya sampai datangnya kebudayaan hindu dan islam di Indonesia,
mengakibatkan perkembangan penyempurnaan lagi pada seni topeng hingga
mencapai jaman keemasan dan akhirnya mencapai klasik.
Menurut penyelidikan Pigenud
topeng yang pertama masih berupa permainan anak-anak yang disebut “ Nidok” dan
nyuk-nyuk” yang terdapat di daerah jawa permainan nidok adalah topeng dengan
beberapa warna yang dicoretkan langsung pada wajah. Sedang nyuk-nyuk adalah
topeng yang menggunakan tempurung kelapa yang diolesi beberapa warna. Bentuk
coretannya masih sederhana. Bentuk itulah yang dipergunakan sebagai tutup wajah
pada permainan tersebut.
3. Pengaruh Jaman Islam
dan Seterusnya
Bentuk-bentuk topeng
nidok dan nyuk-nyuk inilah yang diperkirakan masih asli, yaitu yang pertama
kali merupakan bentuk topeng dan bentuk-bentuk topeng asli yang diperkirakan
lahir sekitar abad ke III.
Kemudian topeng yang
tertua berkembang yang pertama kali dipikirkan oleh Sunan Kalijogo dan
kemudian perkembangan topeng mengikuti bentuk-bentuk wayang gedog. Wayang
gedog adalah gambaran dalam bentuk tubuh seutuhnya mencakup dari seluruh
anggota badan . Sedang topeng-topeng penggambaran wajah saja menurut Sunan
kalijogo ada sembilan macam tokoh topeng, meliputi :
1.
Panji Kesatrian
2.
Condro Kirono
3.
Gunung Sari
4.
Andogo
5.
Raton
6.
Klono
7.
Pandowo
8.
Bencok, yang sekarang disebut temben
9.
Turus, yang sekarang disebut penthul
Dengan pakaian-pakaian
antara lain pakaian dari tokoh topeng pria yang terdiri dari :
-
Tekes adalah bentuk mahkota dengan rambut yang dibentuk seperti kipas
-
Sumping
-
Celana panjang
-
Sonder atau selendang
-
Keris
Sedang pakaian tokoh
topeng wanita terdiri dari :
-
Sarung
-
Kemben
-
Sonder
-
Sunping
-
Tekes
Penari topeng yang
memakai topeng tersebut menari gerak-gerik sesuai dengan karakter atau watak
tokohnya. Pada perkembangannya ini sudah mulai ditokohkan dalam lakon begitu
pula cerita-ceritanya seperti Ramayana dan mahabarata atau cerita panji. Cerita
Ramayana berasal dari hindu sedangkan cerita panji berasal dari pengaruh
kebudayaan islam. Kebudayaan hindu dan islam turut membentuk perkembangan
topeng, sehingga mencapai bentuk topeng klasik. Bentuk topeng-topeng
disempurnakan pada jaman pengaruh islam pada jaman Sunan Kalijaga kemudian
masuk pada kekuasaan raja-raja atau keraton tetapi dasar penciptaannya
didasarkan pada wayang purwo. Pada buku Art in Indonesia, tari topeng yang pertama
diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Beliau merupakan seorang Wali ke 9 pada abad ke
XII.
Dalam perkembangan
topeng untuk pertunjukan sudah jarang sekali nampak (dipentaskan) penyebabnya
adalah karena tidak populernya wayang yang bertopeng. Setelah abad XX orang
lebih suka wayang wong tanpa topeng. Hal ini mengakibatkan topeng tidak
produktif lagi.
0 komentar